Minggu, 13 Februari 2011

Beberapa Lirik Lagu Seringai

MENGIBARKAN PERANG
Kerja keras, banting tulang: hanya bertahan hidup.
Curah keringat, simbah darah: apa semua cukup?
Anggap semua permainan, dan mengambil keuntungan.
Mereka takkan peduli dan kita terabaikan.
Mereka selalu sulitkan hidupmu.
Dan kita kan selalu, mencoba bertahan, mencoba melawan.
Siapa mendapat untung, siapa tertinggal di belakang?
Siapa yang tertawa, dan siapa yang membusuk dan meregang?
Semua peraturan ini, menguntungkan – mereka.
Mungkin saatnya kita, memberikan neraka.
Mereka selalu sulitkan hidupmu.
Dan kita kan selalu, mencoba bertahan, mencoba melawan.
Mereka selalu sulitkan hidupmu.
Dan kita kan selalu, mencoba bertahan, mencoba melawan.


LENCANA
Kekuatanmu di balik lencana, miliki senjata membuatmu lebih bergaya?
Lelucon sedih ketika semua dibawah kendali, lecehkan mereka yang tak punya lencana.
Melindung? Melayani?
Saatnya ambil kendali. Kami takkan ikuti langkahmu, layani mereka yang salahgunakan kekuatan.
Siapa yang mereka lindungi?
Jelas bukan kita, rapatkan barisan.
Melinungi? Melayani? Saatnya ambil kendali.
Melindungi Siapa? Melayani Siapa?
 

 MEMBAKAR JAKARTA
Rutinitas ini, kebosanan ini, begitu nyata. 
Tak ada rantai tak ada belenggu, tenggelam dan masih bernafas. 
Mendesain kehidupan, mendesain kematian, semua yang tercipta. 
Hanya lah ilusi, mengejar impian, hanyut dalam kemanjaan.
Redefinisi perbudakan : rasakan tangan mencekik dirimu. 
Redefinisi kehidupan : rasakan udara kebebasan. 
Rutinitas ini akankah berhenti, selamatkan dirimu. 
Distraksi ini, kepuasan ini, kesemuan kini. 
Merekan keseharian, merekam keseluruhan, segala yang tertunda. 
Menjadikan bias, mendstorsi makna, tenggelam dalam.
Redefinisi perbudakan : rasakan tangan mencekik dirimu. 
Redefinisi kehidupan : rasakan udara kebebasan. 
Mari sini, berdansa denganku: membakar Jakarta. 
Sekali ini, berdansa denganku: membakar Jakarta. 
Rutinitas ini, akankan berhenti, selamatkan dirimu. 
Distraksi ini, kepuasan ini, kesemuan kini. 
Mari sini, berdansa denganku: membakar Jakarta. Sekali ini, berdansa denganku..

PURITAN
Sucikan aku, tak murni, tutup mataku. Biarkan doktrin ini lekat dalam hatiku.
Eliminasi, streilisasi, murni jiwaku. Perisai penglihatan, pagari pikiran.
Moral? PURITAN. ‘Jangan tanya tapi lakukan.’
Genosida generasi dalam samaran. Bidak permainan cuci otak.
Purifikasi, hakimi, menutup jalan. Melihat diri dalam cermin retak.
Norma? PURITAN. ‘Jangan tanya tapi lakukan.’
Nilai? PURITAN. Terbunuh, nati hilangkan gairah.


ALKOHOL
Yeah! Usiaku tak bertambah muda. Tapi sikapku menolak tua.
Energiku oktan tinggi. Membakar nafsu hidup, tetaplah muda.
Alkohol. Yeah.
Tetap anak enggan dewasa. Nafas ini, tak henti berjalan.
Lagu ini untuk kalian : Generasi menolak tua.
Alkohol. Yeah.
Hey. Alkohol.


AKSELERASI MAKSIMUM
Dunia kan tetap berputar, hanya saja melewatimu.
Mungkin kehilangan momen, mungkin juga tak jauh berbeda.
Ketika keinginan untuk hidup dibungkam dan tercekal,
gairah sengaja dimatikan, hidupmu berakhir.
Yeah. Injak pedal dalam. Ini hidupmu.
Yeah. Injak pedal dalam ini hidupmu.
Tak mungkin menang besar kalau tak berani tarung besar,
takut akan kehilangan banyak akan membuat dirimu lumpuh.
Terbakar dingin dan memberku panas.
Hidup hanya sekali dan lakukan yang terbaik dari mu.
Akselerasikan hidupmu. Dengan maksimum pada hidupmu.
Pastikan kita menangkan, perang ini hanya sebuah tes semata.
Ah yeah,
Menarilah bersamaku malam ini juga.
Lewati perang ini, kita akan menangkan.
Yeah. Injak pedal dalam. Ini hidupku.
Yeah. Injak pedal dalam. Ini hidupku.



Berhenti Di 15 
“Apa kabar semua? sehat? Apakah baik-baik saja? Mari bergabung dengan rock oktan tinggi! Yang di belakang silahkan maju saja, masih ada ruang kosong kok disini. Sudah siap? Yuk, mulai!” Berdansa, dengan gaya liar. Headbang, ini menyenangkan. Menggila, seperti masih berumur limabelas. Teman-teman dan musik keras. Rasa ini adalah rumah, tak perlu diredam. Tetap seperti dulu, karena api tak pernah padam.
“Bagaimana? Semua having fun? Anda yang didepan? Cukupkah senang?
1,2,3,4! Laki, perempuan, siapa saja boleh ikutan. OK? Yuk, hajar!” Persetan dengan fashion, tata rambut tidak penting. Apapun yang leluasa, cukup t-shirt, dengan jeans. Siapa peduli dibilang tak tahu malu? Toh tidak mengganggu. Kalau ini terlalu keras, mungkin saja, mungkin saja sikapmu tua.
Berhenti di 15, kami senang sekali. Berhenti di 15, thrashin’ sampai mati. Berhenti di 15, fun ini tak berhenti. Berhenti di 15, bersiap, mulai lagi!


Psikedelia Diskodom

Pesta ini belum lama mulai: dinding be-resonansi. Ada tawa dan ada bicara, menyenangkan selama terjadi. Nyanyikan isi hatimu, nyanyikan setulusnya. Nyanyikan semua pemikiranmu, sampai mereka, mendengarkan.
Bila ini, rumahku, bagaimana aku meluangkan malamku. Bila ini, teman-temanku
tunjukkan gairah, cinta hidup.
Kan kumainkan lagu ini, dari awal sampai ke akhir. Tiap lirik kan berarti bagiku,
sebagaimana berarti bagimu. Dansakan turuti hatimu, dansakan revolusimu. Dansakan kejujuranmu, dansa bersama beat enerjik.
Bila ini, rumahku, bagaimana aku meluangkan malamku. Bila ini, teman-temanku
tunjukkan gairah, cinta hidup. Bila ini, komunikasi. Semua ini.
Senjata sonik lewat speaker, degup jantung yang mengencang. Geram suara yang audibel, lanjutkanlah pesta ini! Hey, hey. Dansakan revolusi. Tiada hari esok. Nyanyikan isi hati.



Amplifier
Sebuah show rock, selatan Jakarta. Gitar, drum, bass, dan mikrofon. Ledakkan suara puluhribu watt. Thrashing dan slamming, hey! Hidupku, musik, distorsi.
Ambil mic dan mulai menyalak. Menghantam telinga, bass menggilas. Adrenalin meningkat, kau menggila. Sembah sang dewa drum, dia merentet!
Yang tak kuat menyingkir. Amplifier memanas! Seperti senjata mesin, kami bidikkan gitar! Drum! Bass! Amplifier memanas!



Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan)
Individu, individu merdeka.
Selamat datang di era kemunduran, pikiran tertutup jadi andalan. Praduga tumbuh tenteram, menghakimi sepihak, sebar ketakutan. Membakukan persepsi, bukan jadi jawaban atau gagasan bijak. Selangkah maju ke depan, empat langkah ke belakang, kita takkan beranjak. Mereka bermain Tuhan. Merasa benar, menjajah nalar. Dan kalau kita membiarkan saja, anak kita berikutnya.
Individu, individu merdeka.
Selamat tinggal, era kemajuan, lupakan harapan dan kehidupan. Menjauh dari akar masalah, mendekatkan kepada kebodohan yang dipertahankan. Privasi. Seni. Siapa engkau yang menghakimi? Masih banyak masalah, dan lebih krusial, tidak bicara asal. Mereka bermain tuhan.Merasa benar, menjajah nalar. Dan kalau kita membiarkan saja, anak kita berikutnya. “Sudahkah merdeka? Sudahkah dirimu merdeka?” Individu, individu merdeka.


 Skeptikal
Aku lelah dengar ocehmu. Aku lelah telan janjimu. Aku akan hapuskan, senyum itu diwajahmu. Kini aku mengerti mengapa kami marah dengan dunia ini. Kini aku mengerti, tak mungkin terulang lagi.
Kini sikapku skeptikal. Aku skeptis. Hitam membasahi duniamu. Diam kini bukan emas. Kami skeptis. Waktu tiba, pukul balik.
Hidup di era absurd, replika neraka. Kita versus mereka, disilusi, janji hampa.
Uang dan negara telah menjualmu, tak salah ketika kami ragu, kami sinis, pukul balik, pukul balik.
Fakta yang terdistorsi, kebohongan terencana. Tak salah, ketika kami kemudian ragu, ketika kami kemudian sinis, dan akhirnya memukul balik.


 Serigala Militia
Teralienasi, terhakimi. Kalian bukan mereka, Era baru, milik kalian, hapus norma usang. Tampak beda, tak meyakinkan? Hanya sisi luar saja. Kau serigala, yang teredam, cukup sudah kau terinjak. Buka pikiranmu [luaskan sudut pandang]. Lelah dengan perlakuan dunia, saat unjuk taring.
Mereka tak mengerti [serigala]. Kau tidak sendiri [militia]. Lewati jalan nya hari ini.
Lewati jalan, tetap impresif. Ayo. Kita taklukan.



Citra Natural
Hey sayang, mengapa engkau cemas? Tak usah menjadi sesuatu yang bukan dirimu. Termakan, terbuai, dengan segala citra emas. Nilai diri, mengapa jadi ragu? Biarkanlah, tak perlu frustasi. Tercitra. Kau cantik, apa adanya. Terbuai? Cukup percaya diri. Tercitra. Kau cantik, apa adanya. Terlena? Indah, pancarkan isi. Hey sayang, semua citra di layar kaca. Tak berarti, dibanding tampil natural. Semua ini, terjual, pluralitas tak berharga. Bayang semu dan tidaklah kekal.
Ah sudahlah, tak perlu depresi.



Marijuanaut
Halus, sang nebula sentuh diriku. Raih matahari, tinggalkan dunia. Berenang dalam lautan antar bintang. Ruang luas angkasa. Berjalan ke inti matahari. Semesta bersahabat kini. Sinsemilla, temani diriku. Bermandikan cahaya solaria. Kudekati bulan yang magis. Melampaui debu-debu kosmik. Meraih horizon galaksi. Tinggi disini, astral bebas. Marijuanaut. Pesawatku menyelam dan meregang. Yad Al-Jauza, dia memanggilku. Menuju cahaya, aku melengang. Semua kendali terpegang penuh. Marijuanaut.

Kilometer Terakhir
Melompat ke sadel, dan kuhantam sang selah. Melawan arah, ku tantang maut, indah. Terasa lepas. Melesat di jalan, kilometer terakhir. Ya, ku hampir tiba, kilometer terakhir. Kubakar bensin, mesin ini meradang. Pacu motor, kutuju matahari. Tancap! Melesat di jalan, ya, ku hampir tiba. Angin menerpaku, serigala lepas. Roda berputar, kilometer terakhir. Hampir esok, seperti kemarin. Kilometer terakhir.

0 komentar:

Posting Komentar

Gatra Dewa Oktananda. Diberdayakan oleh Blogger.